Cerpen kisah asmara gadis desa Lila dan Rega
"Senja di Ujung Sawah"
Di sebuah desa kecil yang sunyinya merdu, diapit oleh bukit dan hamparan sawah yang menguning, tinggallah seorang gadis bernama Lila. Ia bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi bagi angin yang menyisir rambutnya, bagi senja yang jatuh di ujung sawah, Lila adalah puisi yang hidup.
Setiap pagi, Lila berjalan menyusuri pematang sawah sambil membawa keranjang bambu. Langkahnya ringan, seperti embun yang belum sempat jatuh ke bumi. Wajahnya bersahaja, senyumnya tipis tapi hangat, dan matanya... ah, mata itu menyimpan rindu yang tak pernah diucapkan.
Lila jatuh cinta. Bukan pada pemuda kota yang datang membawa mobil dan jas, tapi pada Rega—lelaki desa yang sederhana, yang setiap sore datang dengan gitar tua dan suara serak yang membuat waktu berhenti sejenak.
Mereka tak pernah saling mengucap cinta. Tapi dunia tahu. Langit tahu. Burung-burung yang terbang rendah saat mereka duduk di saung tua juga tahu. Bahwa ada cinta yang tumbuh diam-diam, seperti padi yang menguning tanpa suara.
"Rega," kata Lila suatu senja, "kalau nanti kamu pergi ke kota, kamu bakal balik, kan?"
Rega diam. Menatap mata Lila seperti ingin menyimpan sorotnya dalam ingatan paling dalam.
"Aku nggak janji bakal cepat pulang," katanya pelan. "Tapi aku janji, kamu akan selalu aku bawa pulang. Di dalam hati."
Angin sore berhembus pelan, membawa harum tanah basah dan suara jangkrik. Dunia seakan menahan napas, menyaksikan dua hati yang saling mencinta tanpa harus saling memiliki untuk sementara.
Waktu berlalu.
Rega benar-benar pergi. Kota menelannya seperti ombak menelan pasir. Tapi setiap senja, Lila tetap ke saung itu. Menatap ujung sawah. Menyentuh gitar tua yang ditinggalkan Rega sebagai janji diam.
Dan pada suatu senja, ketika langit mewarnai langit dengan merah paling lembut, Rega pulang. Tidak membawa mobil, tidak dengan jas. Hanya dirinya, dan sepasang mata yang tak pernah lupa arah pulang.
Lila tersenyum. Bumi terasa berputar lebih pelan hari itu, memberi waktu pada dua hati untuk menyatu kembali. Di ujung sawah. Di bawah langit yang masih biru. Di cerita yang kini tak lagi hanya disimpan dalam hati.
"Janji di Balik Pintu Langit"
(Lanjutan dari “Senja di Ujung Sawah”)
Sudah tiga bulan sejak Rega pulang. Sejak hari itu, Lila tak lagi menatap ujung sawah dengan rindu yang menggantung. Ia menatapnya dengan tenang, dengan hati yang penuh harap dan tangan yang tak lagi menggenggam udara kosong.
Rega tak banyak bicara sejak kembali. Tapi tiap pagi, ia menjemput Lila dengan sepeda tua miliknya, mengayuh perlahan melewati jalanan desa yang masih berkabut, membiarkan sunyi menjadi lagu cinta mereka.
Tapi cinta yang besar tak pernah bebas dari ujian.
Suatu pagi, Rega datang dengan tatapan kosong. Ia menggenggam selembar surat dari kota. Tawaran kerja kembali datang—lebih besar, lebih menjanjikan, tapi jauh. Jauh dari Lila. Jauh dari saung, dari senja, dari sawah yang jadi saksi bisu cinta mereka.
"Kalau kamu pergi lagi… aku harus nunggu berapa senja lagi, Rega?" tanya Lila, suaranya pelan, nyaris patah.
Rega memejamkan mata. Dalam diamnya, ada badai. Ia ingin tetap di sini, di sisi Lila. Tapi ia juga ingin memberikan masa depan yang lebih baik, bukan hanya mimpi-mimpi sederhana di bawah langit desa.
"Aku akan pergi," katanya akhirnya. "Tapi kali ini, aku pergi untuk kembali menjemputmu. Bukan hanya untuk pulang sebentar."
Lila menunduk. Ada air mata di ujung matanya, tapi juga senyum yang perlahan muncul. Ia mengerti. Cinta, terkadang, harus sabar sebelum bisa tumbuh utuh.
Hari itu, mereka menanam pohon kecil di dekat saung—tempat mereka biasa duduk berdua.
“Kalau pohon ini besar, aku harap kamu yang nanemin bunga di bawahnya,” kata Lila sambil menatap Rega.
Rega mengangguk. Lalu pergi. Dengan janji, bukan hanya pada Lila, tapi pada tanah yang telah tumbuh bersama cinta mereka.
Epilog
Tiga tahun kemudian.
Pohon itu kini tinggi, rimbun, dan berakar kuat. Dan di bawahnya, tumbuh bunga-bunga yang ditanam tangan laki-laki yang pernah pergi—dan kini kembali, untuk tidak lagi meninggalkan apa pun yang ia cintai.
Lila, mengenakan kain putih dan senyum manis, berdiri di bawah pohon itu. Rega menggenggam tangannya. Dunia mereka sederhana. Tapi cinta mereka tidak.
Cinta mereka besar. Diam. Tapi tak pernah hilang.
"Rumah di Antara Dua Musim"
(Bagian terakhir dari kisah Lila dan Rega)
Angin pagi berhembus lembut, membawa wangi kopi dan suara ayam dari kejauhan. Di bawah pohon yang dulu mereka tanam, kini berdiri sebuah rumah kayu kecil, hangat, dan sederhana—dengan teras menghadap sawah, tempat senja selalu pulang.
Di teras itulah, Lila duduk sambil menggendong bayi mungil yang tengah tertidur. Ia menyenandungkan lagu pelan, lagu yang dulu sering Rega petik dengan gitarnya, di saung tua itu.
Rega datang dari ladang, membawa sekeranjang sayur dan senyum lelah. Peluh di dahinya seperti bukti bahwa ia tetap lelaki yang sama—yang bekerja keras, bukan hanya untuk hidup, tapi untuk cinta yang ia pilih dengan sadar.
"Kamu tahu," kata Lila, masih menatap langit yang mulai berubah warna, "aku pernah takut kamu nggak balik. Tapi sekarang aku sadar... kamu nggak pernah benar-benar pergi."
Rega duduk di sebelahnya, mengambil gitar tua yang kini bersandar di dinding rumah. Senarnya sudah diganti, tapi suaranya tetap sama. Saat petikan pertama terdengar, bayi mereka tersenyum dalam tidurnya—seolah tahu, ini adalah melodi rumahnya.
Hidup mereka tak selalu mudah. Ada musim kering, ada hujan yang membuat tanah becek dan sawah rusak. Tapi seperti cinta mereka dulu, rumah itu berdiri karena ketulusan. Karena keyakinan bahwa segala sesuatu yang ditanam dengan sabar, akan tumbuh dan mengakar.
Setiap malam, mereka duduk bertiga. Di bawah langit desa, di antara jangkrik dan bintang, menceritakan ulang kisah cinta mereka yang sederhana tapi nyata.
Dan setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, Rega akan menatap Lila dan berkata:
“Terima kasih sudah percaya. Terima kasih sudah tetap di sini. Di rumah yang kita bangun dari rindu, harap, dan cinta.”
Akhir Cerita
Cinta bukan soal seberapa mewah kisahnya. Kadang, cinta adalah rumah kecil di desa, suara bayi yang tertawa, dan senja yang pulang di tempat yang sama—hari demi hari.
Karena cinta yang sesungguhnya… tidak pernah pergi. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk tinggal.

Komentar
Posting Komentar